Beraneka ragam suku bangsa di Kepulauan Riau khususnya Kota Batam, menjadikan kota ini memiliki warna tersendiri. Namun, budaya Melayu merupakan budaya asal di kota ini, tidak tenggelam dimakan zaman, karena masyarakat Melayu sangat mencintai budaya yang mereka miliki, serta adanya kerja sama antar masyarakat, Lembaga Adat Melayu (LAM), budayawan dan pemerintah telah menguatkan lagi kota Batam menjadi kota budaya yang berbasis budaya Melayu.
Kecintaan masyarakat Melayu terhadap budayanya, dapat dilihat diantaranya pada tata cara berpakaian. Seperti kita ketahui, kota Batam merupakan kota perbatasan dengan negara luar yang sudah tentu dipengaruhi oleh budaya asing, termasuk dalam hal berpakaian. Namun, karena masyarakat Melayu yang sudah begitu kuat dengan norma-norma budaya yang dijunjung tinggi, sehingga tetap dapat mempertahankan budaya dalam berpakaian yaitu berbaju kurung Melayu yang sejak dahulu sampai sekarang masih digunakan di acara tertentu. Termasuk salah satunya, saat upacara perkawinan.
Baju pengantin Melayu Kepulauan Riau khususnya di kota Batam, mendapatkan perhatian yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat kota Batam yang berbilang suku. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya minat dan permintaan masyarakat yang akan menyelenggarakan upacara pernikahan, baik itu pernikahan yang terjadi antara orang melayu dengan orang melayu sendiri, maupun pernikahan antara orang melayu dengan pasangan yang berbeda suku.
Baju pengantin Melayu berbahan dasar songket, kadang kala digunakan pada saat upacara malam berinai, akad nikah, dan hari berarak besatu. Model baju pengantin yang digunakan adalah baju kurung teluk belanga yang dilengkapi dengan kain sarung untuk perempuan, dan baju kurung cekak musang untuk laki-laki yang dilengkapi dengan seluar/ celana panjang dan kain samping.
Adapun, kelengkapan aksesoris pengantin perempuan terdiri dari; pertama, bagian kepala menggunakan sanggul lintang, tajuk/kembang goyang, jurai, gandek dan anting-anting. Kedua, bagian leher menggunakan kalung/rantai papan. Ketiga, bagian lengan atas menggunakan gelang pontoh, dan lengan bawah memakai gelang porok dalam jumlah ganjil. Keempat, bagian pinggang menggunakan pending. Kelima, bagian kaki menggunakan gelang kaki. Sebagai pelengkap, menggunakan selempang dan sendal yang menutup kaki bagian depan.
Sedangkan kelengkapan untuk pengantin laki-laki; pertama, menggunakan tanjak. Kedua, memakai kalung/rantai. Ketiga, memakai keris. Keempat, memakai capal dan dilengkapi dengan selempang. Melihat antusiasnya pasangan muda yang berminat dengan baju pengantin Melayu ini, barangkali mereka melihat penampilan pengantin Melayu yang begitu cantik, anggun dan menawan dengan kelengkapan aksesorisnya yang begitu mewah, dengan pasangan pengantin laki-lakinya yang terlihat gagah dan beribawa. Hal ini membuat para mak andam atau perias lainnya yang ada di kota Batam juga semakin berminat untuk menambah koleksi baju-baju pengantin Melayu dengan berbagai warna pilihan dan aksesoris yang memukau, di samping pakaian adat istiadat lainnya yang ada di Kota Batam ini tentunya.
Namun, fenomena dan permasalahan yang dihadapi para mak andam dan perias yang ada di kota Batam khususnya adalah terkait pengadaan bendabenda aksesoris pengantin Melayu itu sendiri. Secara teori, para perias ini barangkali sudah faham mengenai jenis dan penggunaannya, karena telah mendapatkan pembekalan berupa seminar dan pelatihan tentang tata rias pengantin Melayu yang telah diadakan oleh pemerintah melalui instansi terkait dan LAM Kota Batam. Nah, kenyataannya di lapangan, sulitnya kami menemukan kelengkapan aksesoris yang sesuai pakem yang telah ditentukan oleh LAM. Para perias harus memesan dan menunggu dari luar kota.
Bahkan, selama ini juga saya menemukan ada beberapa perias yang kadang kala ketika menggunakan pakaian Melayu, kurang dilengkapi bahkan menggunakan aksesoris di luar pakem Melayu . Ini barangkali disebabkan tidak ditemukannya aksesoris yang dibutuhkan tersebut. Oleh karena itu, mak andam kadang dituntut untuk kreatif mengubah sedikit desain aksesoris yang ada agar kesannya mengacu sesuai pakem Melayu itu sendiri, misalnya memfungsikan mahkota yang telah dikreasikan menyerupai gandek melayu.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyarankan agar pemerintah melaui instansi terkait dapat turut andil untuk menjembatani pengadaan aksesoris ini yang dapat diproduksi oleh masyarakat kota Batam, barangkali bisa melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Batam agar dapat membentuk wadah atau semacam pelatihan pembuatan aksesoris seperti halnya daerah lain yang bisa memproduksi aksesoris khas daerahnya masing-masing. Sehingga, para perias di Kota Batam ketika mendapatkan pembekalan tentang tata rias pengantin Melayu sesuai pakemnya, mereka bisa langsung mendapatkan barang yang telah disebutkan dan dicontohkan oleh para nasumber.
Ke depannya, selain perias mendapatkan kemudahan untuk memproleh aksesoris tersebut, juga dapat menjadi lapangan pekerjaan bagi masyarakat pengrajin hiasan tersebut. Semoga ke depannya Batam dapat memproduksi aksesoris Melayu sendiri dan baju pengantin Melayu semakin eksis dengan keanggunan dan kegagahannya di tengah-tengah zaman yang terus mengalami modernisasi ini. Takkan Melayu hilang di bumi! (*)
Penulis: H. Becktang S.ag, M.M, seorang guru di SMAN 3 Batam Sekaligus Mak Andam
Terbit: Harian Batam Pos edisi Jumat, 1 oktober 2021