Inventarisasi

Kearifan Lokal Melayu sebagai Identitas Kota Batam

Penulis Bobi - 3 years ago

posts/x4mquXoGqVkPXMqY2LR1SwVtr5W96FdWQD4cPH3U.jpg
Identitas kota sebenarnya tidak dapat dibangun, tetapi terbentuk dengan sendirinya dari pemahaman dan pemaknaan ”imej” tentang sesuatu yang ada atau pernah ada. Untuk menganalisis pengaruh aspek sosial dan aspek lingkungan terhadap kearifan lokal Melayu sebagai identitas Kota Batam, maka perlu diketahui bahwa Batam dihuni pertama kali oleh orang Melayu dengan sebutan orang Selat sejak tahun 231 Masehi. 

Pulau yang pernah menjadi medan perjuangan Laksamana Hang Nadim dalam melawan penjajah ini, digunakan oleh Pemerintah Indonesia pada dekade 1960-an sebagai basis logistik minyak bumi di Pulau Sambu. Batam adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Riau dan merupakan sebuah pulau di antara 329 pulau yang terletak antara Selat Malaka dan Singapura yang secara keseluruhan membentuk wilayah Batam. 

Langkanya catatan tertulis tentang pulau ini, di mana hanya ada satu literatur yang menyebut nama Batam, yaitu Traktat London 1824, yang mengatur pembagian wilayah kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Namun, menurut para pesiar dari China, pulau ini sudah dihuni sejak 231 M ketika Singapura masih disebut Pulau Ujung.

 Pada dekade 1970-an, dengan tujuan awal menjadikan Batam sebagai Singapura-nya Indonesia, maka sesuai Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam, dan kini institusi tersebut berubah menjadi Badan Pengusahaan (BP Batam). 

Seiring pesatnya perkembangan Pulau Batam, pada dekade 1980-an, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983, wilayah Kecamatan Batam yang merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau, ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Batam yang memiliki tugas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan kemasyarakatan serta mendudukung pembangunan yang dilakukan Otorita Batam (BP Batam). 

Di era reformasi pada akhir dekade tahun 1990-an, dengan UndangUndang Nomor 53 Tahun 1999, maka Kotamadya Administratif Batam berubah statusnya menjadi daerah otonomi, yaitu Pemerintah Kota Batam untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan mengikutsertakan Badan Otorita Batam (BP Batam). 

Masyarakat Kota Batam merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari beragam suku dan golongan. Suku yang dominan antara lain Melayu 32,78 persen, Jawa 17,61 persen, Batak 14,97 persen, Minangkabau 12,93 persen, dan Tionghoa 6,28 persen. Sesuai Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pemajuan Kebudayaan Melayu, maka kearifan lokal Melayu menjadi arah kebijakan Kota Batam. Dengan berpayungkan Budaya Melayu dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, Batam menjadi kondusif dalam menggerakan kegiatan ekonomi, sosial, politik serta budaya dalam masyarakat. 

Manusia tidak pernah terlepas dari alam sekitarnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Manusia yang sadar akan arti penting alam bagi kehidupannya, akan memanfaatkannya sesuai kebutuhan dan beragam aturan agar keseimbangannya tetap terjaga atau lestari. Kearifan lokal sebagai pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan adab kemasyarakatan, dapat lestari dan berkesinambungan ketika bermanfaat dan menjadi jati diri masyarakat yang pada akhirnya akan membentuk identitas daerah. 

Kearifan lokal yang ada, perlu medapat perhatian dan menjadi acuan dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya yang adil dan lestari. Kajian kearifan lokal menjadi perlu dan diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di daerah ini, termasuk efektivitasnya dan pengaruhpengaruh tradisi dan globalisasi atau modernisasi terhadap nilainilai budaya lokal dan sumber daya alam seiring dengan kemajuan teknologi. 

Namun, ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan. Di antaranya, belum maksimalnya informasi tentang sejarah dan tradisi Melayu sebagai alat penguatan karakter dan jati diri masyarakat Melayu Kota Batam. Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat dalam menjaga masyarakat Melayu Kota Batam. Serta, banyaknya warisan budaya Melayu Kota Batam, baik bahasa, adat istiadat, tradisi, maupun kesenian daerah yang belum ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. 

Sedangkan kendala dari aspek seni dan budaya, antara lain karena kesenian tradisional belum secara maksimal dipentaskan sehingga mempunyai nilai ekonomis kerakyatan secara berkesinambungan. Kemudian, belum adanya fasilitas gedung kesenian Melayu atau taman budaya Melayu di Kota Batam sebagai wadah untuk berekspresi dan berkreasi dalam pengembangan seni budaya Melayu. 

Selain itu, juga karena belum optimalnya kerja sama dengan pelaku seni dan budaya serta mitra kebudayaan dalam pelestarian kesenian adat Melayu. Hal lainnya, masih jarangnya penyelenggaraan event seni dan budaya tingkat nasional dan internasional sebagai usaha melestarikan, mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan. Yang tak kalah mengkhawatirkan, adalah kurangnya kesadaran generasi muda terhadap seni budaya Melayu. 

Sementara dari aspek sosial dan ekonomi kreatif, perlu adanya apresiasi dan bimbingan kreativitas lokal pada kampung tua untuk menjadi kekuatan ekonomi masyarakat pesisir sehingga dapat menjadi destinasi wisata yang membentuk citra kawasan. Jaya selalu Tanah Melayuku, Kepulauan Riau tercinta. (*)

Penulis: s J.I. Jusuf Danuwidjojo, Fandy Iood, Yuanita FD Sidabutar 
Terbit: Harian Batam Pos edisi Jumat 24 September 2021

Like 0